Kamis, 06 Oktober 2011

Obat Tradisional ( OT )

Setiap manusia pada hakekatnya mendambakan hidup sehat dan sejahtera lahir dan batin. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan pendidikan, karena hanya dengan kondisi kesehatan yang baik serta tubuh yang prima manusia dapat melaksanakan proses kehidupan untuk tumbuh dan berkembang menjalankan segala aktivitas hidupnya. Maka tidak terlalu berlebihan, jika ada selogan “Kesehatan memang bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan anda tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan segala-galanya itu mungkin akan sirna”.
Bertolak dari hal itu maka upaya kesehatan terpadu (sehat jasmani, rokhani dan sosial) mutlak diperlukan baik secara pribadi maupun kelompok masyarakat untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Keterpaduan upaya kesehatan tersebut meliputi pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara bisa dilakukan dalam rangka memperoleh derajat kesehatan yang optimal, salah satunya dengan memanfaatkan tanaman obat yang dikemas dalam bentuk jamu atau obat tradisional.
Adapun yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pada kenyataannya bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat tradisional (OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO)
karena sebagian besar OT berasal dari TO. Obat tradisional ini (baik berupa jamu maupun TO) masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah kebawah. Bahkan dari masa ke masa OT mengalami perkembangan yang semakin meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) serta krisis yang berkepanjangan. Namun demikian dalam perkembangannya sering dijumpai ketidak tepatan penggunaan OT karena kesalahan informasi maupun anggapan keliru terhadap OT dan cara penggunaannya. Dari segi efek samping memang diakui bahwa obat alam/OT memiliki efek samping relatif kecil dibandingkan obat modern, tetapi perlu diperhatikan bila ditinjau dari kepastian bahan aktif dan konsistensinya yang belum dijamin terutama untuk penggunaan secara rutin.
Berdasarkan hal itu, tulisan ini mencoba memaparkan beberapa aspek OT/TO, terkait dengan manfaat dan keamanannya untuk menambah informasi tentang tanaman obat/obat tradisional.

I. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN OBAT TRADISIONAL / TANAMAN OBAT

A. Kelebihan Obat Tradisional
Dibandingkan obat-obat modern, memang OT/TO memiliki beberapa kelebihan, antara lain : efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif.
1). Efek samping OT relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat
OT/TO akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi tertentu.

a. Ketepatan takaran/dosis
Daun sledri (Apium graviolens) telah diteliti dan terbukti mampu menurunkan tekanan darah, tetapi pada penggunaannya harus berhati-hati karena pada dosis berlebih (over dosis) dapat menurunkan tekanan darah secara drastis sehingga jika penderita tidak tahan dapat menyebabkan syok. Oleh karena itu dianjurkan agar jangan mengkonsumsi lebih dari 1 gelas perasan sledri untuk sekali minum. Demikian pula mentimun, takaran yang diperbolehkan tidak lebih dari 2 biji besar untuk sekali makan.
Untuk menghentikan diare memang bisa digunakan gambir, tetapi penggunaan lebih dari 1 ibu jari, bukan sekedar menghentikan diare bahkan akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama berhari-hari (kebebelen).
Sebaliknya penggunaan minyak jarak (Oleum recini) untuk urus-urus yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Demikian juga dengan pemakaian keji beling (Strobilantus crispus) untuk batu ginjal melebihi 2 gram serbuk (sekali minum) bisa menimbulkan iritasi saluran kemih.

b. Ketepatan waktu penggunaan
Sekitar tahun 1980-an terdapat suatu kasus di salah satu rumah sakit bersalin, beberapa pasien mengalami kesulitan persalinan akibat mengkonsumsi jamu cabe puyang sepanjang masa (termasuk selama masa kehamilan). Setelah dilakukan penelitian, ternyata jamu cabe puyang mempunyai efek menghambat kontraksi otot pada binatang percobaan. Oleh karena itu kesulitan melahirkan pada ibu-ibu yang
mengkonsumsi cabe puyang mendekati masa persalinan karena kontraksi otot uterus dihambat terus-menerus sehingga memperkokoh otot tersebut dalam menjaga janin didalamnya. Sebaliknya jamu kunir asem bersifat abortivum sehingga mungkin dapat menyebabkan keguguran bila dikonsumsi pada awal kehamilan. Sehubungan dengan hal itu, seyogyanya bagi wanita hamil minum jamu cabe-puyang di awal kehamilan (antara 1-5 bulan) untuk menghindari resiko keguguran dan minum jamu kunir-asem saat menjelang persalinan untuk mempermudah proses persalinan.
Kasus lain adalah penggunaan jamu sari rapet terus menerus sejak gadis hingga berumah tangga dapat menyebabkan kesulitan memperoleh keturunan bagi wanita yang kurang subur karena ada kemungkinan dapat memperkecil peranakan.

c. Ketepatan cara penggunaan
Daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid turunan tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran pernafasan) sehingga digunakan untuk pengobatan penderita asma. Penggunaannya dengan cara dikeringkan lalu digulung dan dibuat rokok serta dihisap (seperti merokok). Akibat kesalahan informasi yang diperoleh atau kesalah fahaman bahwasanya secara umum penggunaan TO secara tradisional adalah direbus lalu diminum air seduhannya; maka jika hal itu diperlakukan terhadap daun kecubung, akan terjadi keracunan karena tingginya kadar alkaloid dalam darah. Orang Jawa menyebutnya ‘mendem kecubung’ dengan salah satu tandanya midriasis, yaitu mata membesar.

d. Ketepatan pemilihan bahan secara benar
Berdasarkan pustaka, tanaman lempuyang ada 3 jenis, yaitu lempuyang emprit (Zingiber amaricans L) lempuyang gajah (Zingiber zerumbert L.) dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan lempuyang gajah berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris digunakan untuk menambah nafsu makan; sedangkan lempuyang wangi berwarna lebih putih (kuning pucat) rasa tidak pahit dan berbau lebih harum, banyak digunakan sebagai komponen jamu pelangsing. Kenyataannya banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal tersebut, sehingga kalau ditanya jenisnya hanya mengatakan yang dijual lempuyang tanpa mengetahui apakah lempuyang wangi atau yang lain.
Kerancauan serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang di’anggap sama’ dengan keji beling, daun sambung nyawa dengan daun dewa, bahkan akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria dan Kaempferia rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai ‘kunir putih’ yang sempat mencuat kepermukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit kanker.

e. Ketepatan pemilihan TO/ramuan OT untuk indikasi tertentu
Kenyataan dilapangan ada beberapa TO yang memiliki khasiat empiris serupa bahkan dinyatakan sama (efek sinergis). Sebaliknya untuk indikasi tertentu diperlukan beberapa jenis TO yang memiliki efek farmakologis saling mendukung satu sama lain (efek komplementer). Walaupun demikian karena sesuatu hal, pada berbagai kasus ditemui penggunaan TO tunggal untuk tujuan pengobatan tertentu. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun 1985, terdapat banyak pasien di salah satu rumah sakit di
Jawa Tengah yang sebelumnya mengkonsumsi daun keji beling. Pada pemeriksaan laboratorium dalam urine-nya ditemukan adanya sel-sel darah merah (dalam jumlah) melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan karena daun keji beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun kumis kucing (Ortosiphon stamineus) yang efek diuretiknya lebih ringan dan dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak mempunyai efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal berkalsium.
Penggunaan daun tapak dara (Vinca rosea) untuk mengobati diabetes bukan merupakan pilihan yang tepat, sebab daun tapak dara mengandung alkaloid vinkristin dan vinblastin yang dapat menurunkan jumlah sel darah putih (leukosit). Jika digunakan untuk penderita diabetes yang mempunyai jumlah leukosit normal akan membuat penderita rentan terhadap serangan penyakit karena terjadi penurunan jumlah leukosit yang berguna sebagai pertahanan tubuh.

2). Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisional/komponen bioaktif tanaman obat
Dalam suatu ramuan OT umumnya terdiri dari beberapa jenis TO yang memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri dari komponen utama sebagai unsur pokok dalam tujuan pengobatan, asisten sebagai unsur pendukung atau penunjang, ajudan untuk membantu menguatkan efek serta pesuruh sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis TO sehingga komposisi OT lazimnya cukup komplek.
Misalnya suatu formulasi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah, komponennya terdiri dari : daun sledri (sebagai vasodilator), daun apokat atau akar teki (sebagai diuretika), daun murbei atau besaren (sebagai Ca-antagonis) serta biji pala (sebagai sedatif ringan). Formulasi lain dimaksudkan untuk pelangsing, komponennya terdiri dari : kulit kayu rapet dan daun jati belanda (sebagai pengelat), daun jungrahap (sebagai diuretik), rimpang kunyit dan temu lawak (sebagai stomakik sekaligus bersifat pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan ditingkatkan oleh temu lawak dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh kulit kayu rapet dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defakasi dinetralisir oleh temulawak dan kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses pelangsingan sedangkan proses defakasi dan diuresis tetap berjalan sebagaimana biasa.
Terhadap ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan (untuk memperbaiki warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk memenuhi jumlah/volume tertentu). Bahan tambahan sering disebut sebagai Coringen, yaitu c.saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya menta atau kayu legi), c.odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah adas) dan c.coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu secang, kunyit atau pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari atau adas, sekaligus ada ramuan yang disebut ‘adas-pulowaras’ atau ‘adas-pulosari’.
Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan, seringkali masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai Stabilisator dan Solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi menstabilkan komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk menambah kelarutan zat aktif. Sebagai contoh, kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam kunyit yang bersifat labil (tidak stabil) pada suasana alkalis atau netral, tetapi stabil dalam suasana asam, sehingga muncul ramuan ‘kunir-asem’. Demikian juga dengan etil metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang agak sukar larut dalam air; untuk menambah kelarutan diperlukan adanya ‘suspending agent’ yang berperan sebagai solubilizer yaitu beras, sehingga dibuat ramuan ‘beras-kencur’.
Selain itu beberapa contoh TO yang memiliki efek sejenis (sinergis), misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun keji beling, daun kumis kucing, akar teki, daun apokat, rambut jagung dan lain sebagainya. Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif dalam satu tanaman, contohnya seperti pada herba timi (Tymus serpyllum atau T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat batuk. Herba timi diketahui mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari : tymol dan kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Tymol dalam timi berfungsi sebagai ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri penyebab batuk; sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3 komponen aktif yang saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula efek diuretik pada daun kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid, saponin dan kalium.

3). Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi
Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung (seperti pada herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling berlawanan atau kontradiksi (sperti pada akar kelembak). Sebagai contoh misalnya pada rimpang temu lawak (Curcuma xanthoriza) yang disebutkan memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain : sebagai anti inflamasi (anti radang), anti hiperlipidemia (penurun lipida darah), cholagogum (merangsang pengeluaran produksi cairan empedu), hepatoprotektor (mencegah peradangan hati) dan juga stomakikum (memacu nafsu makan). Jika diperhatikan setidak-tidaknya ada 2 efek yang kontradiksi, yaitu antara anti hiperlipidemia dan stomakikum. Bagaimana mungkin bisa terjadi pada satu tanaman, terdapat zat aktif yang dapat menurunkan kadar lemak/kolesterol darah sekaligus dapat bersifat memacu nafsu makan. Hal serupa juga terdapat pada tanaman kelembak (Rheum officinale) yang telah diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non polar dan berfungsi sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa tanin yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa menyebabkan konstipasi untuk menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan keunggulan produk obat alam / TO/ OT; tetapi disisi lain merupakan bumerang karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal. Terlepas dari itu semua, sebenarnya
merupakan ‘lahan subur’ bagi para peneliti bahan obat alam untuk berkiprah memunculkan fenomena ilmiah yang bisa diterima dan dipertangungjawabkan kebenaran, keamanan dan manfaatnya.

4). Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif
Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia.
Pada periode sebelum tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya hinga sekarang sudah cukup banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang potensinnya lebih tinggi sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi.
Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory). Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakain obat dalam waktu lama sehinga jika mengunakan obat modern dikawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam/OT, walaupun penggunaanya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.

B. Kelemahan Produk Obat Alam / Obat Tradisional
Disamping berbagai keuntungan, bahan obat alam juga memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional (termasuk dalam upaya agar bisa diterima pada pelayanan kesehatan formal). Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain : efek farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme. Menyadari akan hal ini maka pada upaya pengembangan OT ditempuh berbagai cara dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sehingga ditemukan bentuk OT yang telah teruji khasiat dan keamanannya, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah serta memenuhi indikasi medis; yaitu kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka Akan tetapi untuk melaju sampai ke produk fitofarmaka, tentu melalui beberapa tahap (uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa menjawab dan mengatasi berbagai kelemahan tersebut.
Efek farmakologis yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar senyawa aktif dalam bahan obat alam serta kompleknya zat balast/senyawa banar yang umum terdapat pada tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan ekstrak terpurifikasi, yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-senyawa yang berguna dan membatasi sekecil mungkin zat balast yang ikut tersari. Sedangkan standarisasi yang komplek karena terlalu banyaknya jenis komponen OT serta sebagian besar belum diketahui zat aktif masing-masing komponen secara pasti, jika memungkinkan digunakan produk ekstrak tunggal atau dibatasi jumlah komponennya tidak lebih dari 5 jenis TO. Disamping itu juga perlu diketahui tentang asal-usul bahan, termasuk kelengkapan data pendukung bahan yang digunakan; seperti umur tanaman yang dipanen, waktu panen, kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman (cuaca, jenis tanah, curah hujan, ketinggian tempat dll.) yang dianggap dapat memberikan solusi dalam upaya standarisasi TO dan OT. Demikian juga dengan sifat bahan baku yang higroskopis dan mudah terkontaminasi mikroba, perlu penanganan pascapanen yang benar dan tepat (seperti cara pencucian, pengeringan, sortasi, pengubahan bentuk, pengepakan serta penyimpanan).

II. EFEK SAMPING TANAMAN OBAT/OBAT TRADISIONAL

Dari definisi Obat Tradisional yang telah direkomendasikan Depkes (sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini) terdapat kalimat “…yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman”. Pada kata ‘secara tradisional’ tersirat makna bahwa segala aspeknya (jenis bahan, cara menyiapkan, takaran serta waktu dan cara penggunaan) harus sesuai dengan warisan turun-temurun sejak nenek moyang kita. Penyimpangan terhadap salah satu aspek kemungkinan dapat menyebabkan ramuan OT tersebut yang asalnya aman menjadi tidak aman atau berbahaya bagi kesehatan. Pada hal jika diperhatikan, seiring perkembangan jaman banyak sekali hal-hal tradisional yang telah bergeser mengalami penyempurnaan agar lebih mudah dikerjakan ulang oleh siapapun. Misalnya tentang peralatan untuk merebus jamu, dulu masih menggunakan kwali dari tanah liat sekarang sudah beralih ke panci dari aluminium, untuk menumbuk sudah menggunakan alat-alat dari logam dan tidak lagi menggunakan alu dari kayu atau batu, dan lain sebagainya.
Disamping itu perlu disadari pula bahwa memang ada bahan ramuan OT yang baru diketahui berbahaya, setelah melewati beragam penelitian, demikian juga adanya ramuan bahan-bahan yang bersifat keras dan jarang digunakan selain untuk penyakit-penyakit tertentu dengan cara-cara tertentu pula. Secara toksikologi bahan yang berbahaya adalah suatu bahan (baik alami atau sintesis, organik maupun anorganik) yang karena komposisinya dalam keadaan, jumlah, dosis dan bentuk tertentu dapat mempengaruhi fungsi organ tubuh manusia atau hewan sedemikian sehingga mengganggu kesehatan baik sementara, tetap atau sampai menyebabkan kematian. Suatu bahan yang dalam dosis kecil saja sudah menimbulkan gangguan, akan lebih berbahaya daripada bahan yang baru dapat mengganggu kesehatan dalam dosis besar. Akan tetapi bahan yang aman pada dosis kecil kemungkinan dapat berbahaya atau toksis jika digunakan dalam dosis besar dan atau waktu lama, demikian juga bila tidak tepat cara dan waktu penggunaannya. Jadi tidak benar, bila dikatakan OT/TO itu tidak memiliki efek samping, sekecil apapun efek samping tersebut tetap ada; namun hal itu
bisa diminimalkan jika diperoleh informasi yang cukup. Ada beberapa contoh, antara lain mrica (Piperis sp.) pada satu sisi baik untuk diabetes, tetapi mrica juga berefek menaikkan tekanan darah; sehingga bagi penderita diabet sekaligus hipertensi dianjurkan tidak memasukkan mrica dalam ramuan jamu/OT yang dikonsumsi. Kencur (Kaempferia galanga) memang bermanfaat menekan batuk, tetapi juga berdampak meningkatkan tekanan darah; sehingga bagi penderita hipertensi sebaik-nya tidak dianjurkan minum beras-kencur. Demikian juga dengan brotowali (Tinospora sp.) yang dinyatakan memiliki efek samping dapat mengganggu kehamilan dan menghambat pertumbuhan plasenta.
Walaupun demikian efek samping TO/OT tentu tidak bisa disamakan dengan efek samping obat modern. Pada TO terdapat suatu mekanisme yang disebut-sebut sebagai penangkal atau dapat menetralkan efek samping tersebut, yang dikenal dengan SEES (Side Effect Eleminating Subtanted). Sebagai contoh di dalam kunyit terdapat senyawa yang merugikan tubuh, tetapi di dalam kunyit itu juga ada zat anti untuk menekan dampak negativ tersebut. Pada perasan air tebu terdapat senyawa Saccharant yang ternyata berfungsi sebagai antidiabetes, maka untuk penderita diabet (kencing manis) bisa mengkonsumsi air perasan tebu, tetapi dilarang minum gula walaupun gula merupakan hasil pemurnian dari tebu.
Selain yang telah disebutkan diatas, ada beberapa tanaman obat/ramuan yang memang berefek keras atau mempunyai efek samping berbahaya terhadap salah satu organ tubuh. Selengkapnya TO tersebut seperti tersaji pada tabel berikut :
Tanaman Obat/Ramuan OT yang berefek keras
(mempunyai efek samping berbahaya)
1.Jantung
Daun digitalis, daun oleander, daun senggunggu

2.Susunan syaraf otonom
Umbi gadung, biji saga, daun dan buah kecubung, daun gigil, biji jarak, daun tuba

3.Susunan Syaraf Pusat
Daun koka

4.Sistem Pencernaan
Biji ceguk, daun widuri

5.Saluran Pernafasan
Kulit buah jambu monyet

6.Sistem Reproduksi Wanita (Abortivum)
Jungrahap, jarong, daun maja, akar kelor, buah nanas muda

7.Sistem Reproduksi Pria
~ penurun libido => biji kapas
~ melemahkan spermatozoa => biji pare

8.Saluran Kencing
• Diuretik kuat => daun keji beling, meniran
• Memacu batu ginjal => bayam, kubis, nenas

9.Hati/Lever
Konfrei, arak, daun imba

10.Meningkatkan kadar asam urat darah
Mlinjo, kacang-kacangan

11.Menurunkan Jumlah Sel Darah Putih
Ochrosia spp.
Vinca rosea (daun tapak dara)

Demikian juga dari suatu hasil percobaan toksisitas dan kandungan senyawa kimia yang berbahaya yang pernah dipublikasikan pada suatu artikel, antara lain menyebutkan sebagai berikut :

a. Beberapa tanaman yg telah diketahui mengandung bahan yang berbahaya

1. Dari suku Euphorbiaceae : Phylanthus sp. : mengandung ester phorbol yang dinyata-kan dapat merangsang virus Epstein-Borr (dalam waktu lama menyebabkan karsinoma)
Recinus comunis : bijinya mengandung protein risin, yang apabila diabsorpsi dalam bentuk asli, akan meng-hambat sintesis protein, karena dapat mengacaukan proses metabolisme)Croton tiglium L. : bijinya mengandung crotin (suatu protein fitotoksin), fraksi resinnya menyebabkan radang kulit minyak croton mengandung suatu zat karsinogenik yang dapat merangsang karsinogen lemah, sehingga memacu terjadinya kanker

2. Dari suku Rutaceae :
Ruta graveolens L. : mengandung glukosida kumarin (rutarin/marmesin)
- mengiritasi kulit (bagi yang peka) menyebabkan lepuh-lepuh dan demam
- jika infusa terminum kemungkinan bisa menimbulkan peradangan usus

 Tanaman yang bersifat oksitosik ( merangsang uterus), tetapi belum diketahui zat penyebabnya
1. Jungrahap (daun Beachea frutescen L. familia Myrtaceae)
2. Majakan (eksudat daun Quercus lusitanica Lamk. Familia Fagaceae)
3. daun kaki kuda (Centela asiatica Urb.familia Umbeliferaeae)
4. Meniran (Phyllathus niruri L.familia Euphorbiaceae)
5. umbi Angelica sinensis L. ~ ramuan yang menyebabkan cacat
Kelima bahan tersebut disusun berdasarkan urutan paling kuat sifat oksitosiknya. Walaupun baru merupakan informasi percobaan pada hewan, tetapi telah memberikan petunjuk paling tidak bahwa Jungrahap yang digunakan bersamaan dengan daun sembung dan beluntas serta daun kaki kuda, mengakibatkan kematian pada induk
hewan percobaan, pendarahan pada uterus dan usus, kematian janin, pertumbuhan janin tidak normal (lambat); meskipun dosis yang diberikan baru 10 kali lebih kecil dari dosis lazim pada manusia. Memang tidak begitu jelas adanya adisi, potensiasi atau inhibisi antara bahan-bahan diatas bila diberikan bersama.
Tetapi setidak-tidaknya dari informasi tersebut kita perlu mewaspadai terutama bila digunakan untuk sesuatu yang berkaitan dengan sistem reproduksi seperti terlambat bulan/haid, jamu hamil, keputihan, sari rapet dan semacamnya.

III. PENYALAHGUNAAN OBAT TRADISIONAL/TANAMAN OBAT

Sebagaimana halnya obat-obat sintesis, OT/TO pun seringkali disalah gunakan oleh oknum tertentu baik untuk pemakaian sendiri maupun ditujukan kepada orang lain dengan maksud-maksdu tertentu. Bila pada obat-obat sintesis sering diinformasikan adanya penyalah gunaan obat-obat golongan psikotropika (obat tidur, penenang/tranquilizer), maka pada OT penyalah gunaan itu juga dilakukan dengan berbagai kasus. Diantaranya yang sering terjadi adalah kasus penyalah gunaan cara pemakaian (seperti daun ganja, candu untuk dicampur dengan rokok, seduhan kecubung untuk flay dsb.), juga tujuan pemakaian (misalnya jamu terlambat bulan dicampur dengan jamu pegel linu untuk abortus) dan yang lebih luas lagi adalah penyalah gunaan pada proses penyiapan/produksi dengan cara menambahkan zat kimia tertentu/obat keras untuk mempercepat dan mempertajam khasiat/efek farmakologisnya sehingga dikatakan jamunya ‘lebih manjur, mujarab, ces-pleng’ dan lain-lain.
Tentu masih segar pada ingatan kita terhadap kasus jamu yang dicampur obat keras di Cilacap dan banyumas yang kemudian ketahuan dan dicabut ‘registrasi’nya oleh Badan POM (Kompas, Nov.2001). Adapun obat-obat keras yang sering ditambahkan pada jamu/OT antara lain : fenilbutazon, antalgin, deksametason (untuk jamu pegel linu); parasetamol, CTM, coffein (untuk jamu masuk angin dan sejenisnya); teofilin, prednison (untuk sesak nafas), furosemid (untuk pelangsing) dan lain sebagainya. Pada hal zat-zat kimia tersebut bisa menimbulkan dampak negatip yang membahayakan kesehatan; sebagai contoh fenilbutazon bisa menyebabkan pendarahan lambung dan merusak hati, antalgin bisa menyebabkan granulositosis atau kelainan darah dan prednison menyebabkan pembengkakan wajah dan gangguan ginjal.
Pada kasus lain, ada juga penyalahgunaan OT dengan cara dioplos bersama produk lain yang beralkohol (seperti konsumsi anggur jamu yang umumnya dilakukan oleh para remaja). Hal ini bukan hanya menyebabkan penyakit hati yang parah, tetapi dapat menyebabkan kematian karena dicampur bahan lain yang berbahaya. Demikian juga dengan minum jamu terlambat bulan pada dosis berlebih (seperti yang sering dilakukan sebagian remaja putri untuk abortus). Memang bukan menjadi rahasia lagi bahwa salah satu cara untuk menjarangkan kehamilan masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) dengan minum jamu terlambat bulan; akan tetapi hal ini sering disalah gunakan oleh para remaja putri setelah mengetahui akibat perbuatannya yang diluar kontrol membuahkan keterlambatan menstruasi lebih dari 2 bulan. Terlepas dari segi moral dan agama yang jelas-jelas melaknat perbuatan ini, dari segi fisik jika calon bayi yang ingin digugurkan telah cukup besar dan tidak meninggal dapat terjadi kecacatan tubuh secara permanen akan disandang oleh bayi yang tak berdosa tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner